Kamis, 24 Maret 2011

Aku Masih di Sini untuk Setia...

* Oleh : Akhid Nur Setiawan Abu Kholid bin Jamal As-Sulaimani

"Saya teringat pada waktu tahun 90-an. Saat itu banyak aktivis dakwah yang meninggalkan Jogja karena ada tawaran kerja di perusahaan-perusahaan besar di luar Jawa akan tetapi sebagian tetap bertahan di Jogja. Ya, sebagian memilih melanjutkan pengembangan dakwah di Jogja, memilih bersabar bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan sore hari, mereka tidak berpaling pada dunia," itu kata ustadz kami seusai membahas salah satu ayat dalam surat Al-Kahfi dalam kajian jelang buka puasa Romadhon 1430 H.

Selengkapnya ayat yang dimaksud adalah "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28)

Ada rasa haru tersendiri jika kita mendengar kabar bahwa sahabat dakwah kita yang sudah begitu akrab hendak pulang kampung ataupun hijrah ke kota lain nan jauh dari kita. Di satu sisi ada harap akan kebaikan yang lebih baik dari ketika dia bersama-sama dengan kita namun di sisi lain ada khawatir bahwa semua akan berubah tidak seperti yang diharapkan semula. Antara bahagia dan sedih: kita bahagia karena sahabat kita memperoleh sebuah kebaikan dari Alloh dan kita sedih karena sahabat dakwah tak akan lagi di sisi.

"Teman-teman saya tu sudah pada ke luar negeri, kuliah di mana, kerja di mana, saya koq dari dulu masih di sini aja ngurusin DPC, hahaha!" kelakar seorang sahabat saya pada suatu ketika. Beliau memang telah beberapa tahun 'menunda' kelulusan kuliahnya sehingga sampai berkata seperti itu. Hanya tawa yang bisa kami luapkan bersama karena tak cukup syar'i menjadikan dakwah sebagai kambing hitam. Kami buang jauh-jauh kalimat "Kalau saja tidak perlu berdakwah dan terlibat amanah-amanah ini mungkin sekarang kita sudah sukses melanglang buana."

Hidup memang penuh dengan pilihan, bukan berarti mereka yang pergi itu berpaling pada dunia dan meninggalkan dakwah. Mereka pergi untuk kembali dengan dakwah yang lebih powerful. Bukan berarti juga yang bertahan di kampung halaman lantas akan terus-menerus berada di jalan dakwah. Inilah pentingnya mengokohkan niat, niat sungguh menentukan makna kehadiran kita di suatu tempat.

Abu Zubaidin Al-Yaami rohimahulloh mengatakan, "Niatkanlah untuk kebaikan, semua perkara yang engkau lakukan sampai-sampai pergimu ke tempat sampah." Dikutip dari Jami'ul 'Ulum wal Hikam, 70/I (SMS dari seorang kawan)

Berhati-hatilah dengan niat hijrah kita, resapi betul hadits Arba'in An-Nawawi urutan pertama. Niat bisa membatasi antara dunia dengan akhirat. Jika kita mengharap akhirat, kita akan mendapatkan akhirat bahkan insya'alloh kita juga akan mendapatkan dunia yang tak pernah kita harapkan. Jika kita mengaharap dunia, alih-alih akhirat, dunia pun mungkin bisa jadi justru tak akan didapat.

Jangan pernah hijrah hanya karena dunia yang kita inginkan, apalagi berpaling dari dakwah karena dunia yang hina. Tidak elok sama sekali jika kita hijrah lalu kehilangan keringat peluh lelahnya berdakwah. Tentunya kita tak mau kehilangan nikmat itu, nikmat iman, nikmat hidayah, nikmat dakwah, berlelah-lelah dalam dakwah itu indah! Sekali lagi, niatkanlah untuk Alloh. Boleh jadi substansinya sama namun nilainya berbeda, yang membedakannya adalah niat.

Teruntuk sahabat-sahabat dakwahku, semoga Alloh senantiasa membersamai kita, meridhoi dan memberikan barokah pada kita semua di manapun kita berada. Saya memilih di sini, tetap di sini, tetap di kampung halaman saya, bukan berarti menafikan nasihat para ulama mengenai pentingnya hijrah dan menjelajah dunia. Kampung halaman saya masih negeri merdeka, masih banyak yang bisa dan perlu dilakukan di sini. Semoga juga bernilai kebaikan. Mungkin keberadaan saya di sini jauh lebih baik dari keberadaan saya di luar sana. Bukankah masyarakat sekitar kita jauh lebih berhak menikmati dakwah kita? Yah, kalaupun hijrah, jangan lupa kisah Fathu Makkah. Seusai hijrah, pulanglah dan jadikan kampung halaman kita futuh.

<---end of this note--->

*Ditulis oleh Akhid Nur Setiawan Abu Kholid bin Jamal As-Sulaimani, kami comot dari blognya disini:

**gambar: KORSAD Bandung, diambil dari galerikeadilan.net dan diedit sendiri.
---

Ketika Badai Menghantam Perahu Kami...

* Oleh Abdullah Haidir, Lc

Berlayar mengarungi samudera, jangan berharap kau kan tiba di pulau tujuan tanpa cobaan mendera. Sebelum layar dibentangkan, inilah yang harus terpatri dalam diri menjadi kesadaran. Bahwa berbagai keindahan dari sebuah pelayaran panjang dan kenikmatan di pulau tujuan, berbanding lurus dengan besarnya tantangan yang menghadang. Tak kan pernah kau dapatkan indahnya pemandangan angkasa menjulang di tengah samudera luas membentang, selagi kau masih takut menembus hempasan gelombang. Ini bukan sekedar resiko perjalanan, tapi tlah menjadi aksioma tak terbantahkan.

Di sini, di perahu ini, kita sedang merangkai keutuhan dan persaudaraan, kesetiaan dan keteguhan, apapun posisi dan kedudukan. Karena kita telah memiliki tujuan, harapan dan mimpi yang sama ingin diwujudkan. Namun, kita tidak pernah menafikan adanya kesalahan, kelalaian dan kekhilafan, bahkan juga kejenuhan, kekecewaan, kemarahan, hingga silang sengketa yang tak terhindarkan. Itu wajar belaka, karena memang tidak satu pun di antara kita yang mengaku tiada cela tiada dosa. Namun kesamaan tujuan, mimpi dan khayalan, kan segera menyatukan, meluruskan langkah ke depan, menghapus resah dan kemarahan, berganti semangat yang terbarukan. Karenanya, kita sambut gembira setiap arahan, nasehat dan pesan-pesan yang dapat menguatkan serta menyatukan, sekeras apapun. Tapi, fitnah yang memecah barisan, tuduhan yang memojokkan, umpatan dan celaan yang menjatuhkan, serta aib yang dibeberkan, apalagi tindakan melobangi perahu agar kandas atau tenggelam, tidak pernah dapat kami terima, baik secara logika apalagi perasaan. Bagaimanapun, kami bukan batu yang diam diketuk palu.

Di sini, di perahu ini, kita sedang menjadikan badai dan gelombang sebagai ujian kejujuran, sarana muhasabah untuk memperteguh perjuangan, juga sarana belajar menjaga komitmen atas kesepakatan yang tlah dinyatakan. Karenanya, alih-alih badai ini menceraiberaikan atau meluluhlantakkan, justeru dia menjadi moment paling tepat untuk semakin rekat, melupakan kesalahpahaman yang sempat menimbulkan sekat. Mereka di kejauhan, boleh jadi bersorak sorai kegirangan ketika kita terombang ambing di tengah gelombang, berharap satu persatu dari kita tenggelam menjemput ajal menjelang. Tapi tahukah mereka? Justeru saat ini kami rasakan kehangatan tangan saudara kami yang erat saling berpegangan, justeru saat ini kami rasakan kekhusyuan doa-doa untuk keselamatan dan persatuan, justeru saat ini kami semakin yakin bahwa seleksi kejujuran memang harus lewat ujian, justeru saat ini kami jadi dapat membedakan mana nasehat dan mana dendam kesumat, mana masukan bermanfaat dan mana makar jahat, mana senyum tulus persaudaraan dan mana senyum sinis permusuhan.

Di sini, di perahu ini, justeru di tengah badai gelombang, kita jadi semakin mengerti pentingnya nakhoda yang memimpin dan mengendalikan, juga semakin menyadari pentingnya syura untuk mengambil keputusan, lalu pentingnya belajar menerima keputusan setelah disyurakan. Adanya kepemimpinan dan syura memang memberatkan, karena proses jadi panjang, langkah-langkah jadi terhalang aturan, keinginan sering tertunda menunggu keputusan. Tapi ini tidak dapat kita hindari, karena kita tidak berlayar sendiri, bergerak sendiri, mengambil keputusan sendiri dan menanggung resiko sendiri. Justeru karena kita berlayar bersama, maka kepemimpinan dan syura mutlak harus ada. Kepemimpinan memang bukan nabi yang maksum dan mendapatkan legalitas wahyu dalam setiap kebijakan, kesalahanpun bukan sebuah kemustahilan meski tidak kita anggap kebenaran. Tapi kepemimpinan yang dibangun oleh syura, telah memenuhi syarat untuk disikapi penuh penghormatan dan ketaatan, sepanjang tidak ada ajakan kemaksiatan. Sebagian orang boleh jadi mengatakan ini sikap taklid buta, kita katakan, 'Inilah komitmen kita!' Sebagian lagi katanya merasa kasihan dengan anak buah yang tidak mengerti banyak persoalan dan hanya ikut ketentuan, kita katakan, 'Kasihanilah dirimu yang sering menghasut tanpa perasaan!'

Di sini, di perahu ini, ketika badai menghantam dari kiri dan kanan, depan dan belakang, teringat perkataan para shahabat dalam sebuah peperangan, tatkala musuh dari luar datang menyerang dan orang dekat menelikung dari belakang,

'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya' (QS. Al-Ahzab: 22)

Ibnu Katsir menjelaskan, "Maksudnya, inilah janji Allah dan Rasul-Nya berupa ujian dan cobaan, pertanda kian dekatnya kemenangan."

Riyadh, Rabiul Tsani 1432 H.

*Abdullah Haidir, Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah (MPW) DPW PKS Arab Saudi
*posted: pkspiyungan.blogspot.com